HALAL BI HALAL KELUARGA BESAR YAPIS DI TANAH PAPUA

Gema takbir, tahlil dan tahmid terus berkumandang, menghadirkan gelegar gegap gempita, cerah dan ceria. Itulah suasana umum tatkala menyambut dua Hari Raya, Idul Fitri maupun Idul Adha.
Perayaan dua hari raya ini berarti merayakan tradisi sekaligus ibadah. Kenapa disebut tradisi? Dahulu, sebelum Islam hadir, bangsa Arab memiliki berbagai macam perayaan hari besar. Pada hari besar itu, mereka memperlihatkan sukacita dan besar-besaran, seluruh warga berkumpul; berdendang dan bersyair sepanjang hari dan malam.
Tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mendapati masyarakat Madinah merayakan dua hari besar, Niruuz dan Mahrajan—semacam festival rakyat yang diwarisi turun temurun. Maka Rasulullah pun bertanya kepada mereka, “Ada apa dengan kedua hari itu?” Mereka menjawab, “Kami bersenang-senang dan berpesta pora pada hari itu, sejak zaman Jahiliyah.” Lalu Rasulullah pun bersabda, “Allah telah menggantikan kedua hari itu untuk kalian dengan yang lebih baik, yaitu Hari Raya Kurban dan Hari Raya Fitri”
Sejak saat itu pula, perayaan dua hari raya menjadi bagian dari ibadah. Shalat Id disyariatkan pada tahun kedua Hijriah, dihukumi dengan Sunnah Muakkadah (sangat dianjurkan), dalilnya bersandar pada firman Allah:
“Maka Laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (QS. Al-Kautsar [108: 3).
Pada sebuah riwayat, Abu Sa’id al-Khudri mengisahkan,
“Pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah Saw. keluar dari rumah menuju tempat shalat (masjid). Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, kemudian berbalik menghadap jamaah, sementara jamaah tetap duduk dalam shaf-shafnya. Rasulullah Saw. memberikan nasihat, wasiat, dan perintah. Apabila ingin mengutus pasukan untuk berperang, beliau langsung mengutusnya saat berkhutbah. Jika ingin memerintahkan sesuatu, beliau sampaikan di sana. Lalu Rasulullah mengakhiri khutbahnya dengan berdoa.” (HR. Bukhari)
Hari raya disebut dengan ‘Id’—bermakna kembali—karena ia kembali hadir atau berulang setiap tahun. Ia kembali membawa kebahagiaan dan kesenangan, karena pada hari itu Allah menganugerahkan rahmat kepada umat Islam setelah berpuasa Ramadan sebulan penuh, sebagai bukti ketaatan kepada-Nya. Sedangkan ‘Fitri’ berarti suci atau bersih. Pada asalnya manusia terikat perjanjian sejak zaman azali dengan Allah, yakni bertauhid. Makanya manusia sejak itu dan hingga dilahirkan selalu dalam keadaan suci tanpa noda.
Rasulullah Saw. bersabda, “Manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani dan Majusi” (HR. Al-Bukhari).
Dengan demikian makna ‘Idul Fitri’ adalah kembalinya manusia pada kesuciannya—yang dulu—saat dekat dengan Allah. Kedekatan si hamba yang fitrah dengan-Nya meletupkan energi ketakwaan, kesalehan sosial dan kebermoralan. Tetapi ada syaratnya, kondisi fitrah ini hanya bisa dicapai jika si hamba telah sebenar-benarnya berpuasa Ramadan dan berzakat.
Antara Gus Dur dan Cak Nur—sama-sama Guru Bangsa, cendekiawan Muslim Indonesia sekaligus pemikir dan penulis produktif—memiliki perspektif menarik saat memaknai Idul Fitri. Keduanya sepakat bahwa lebaran tidak boleh sekadar dijadikan perayaan simbolik belaka.
Gus Dur—dalam khutbahnya selaku presiden pada 7 Januari 2000—menjabarkan momentum Idul Fitri berarti ‘ajakan kepada kita semua untuk memperhatikan nasib kaum yang lemah, memajukan ekonomi rakyat, menegakkan demokrasi yang berarti menegakkan kedaulatan hukum, menerima perbedaan pendapat, karena ini bagian dari ajaran agama. Kalau ini sampai dilupakan berarti kita hanyalah mementingkan agama dalam arti seremonialnya saja.’
Sementara Cak Nur—dalam 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan Ramadhan –menyampaikan, lebaran bermakna saat yang tepat membersihkan diri, ketika sudah bersih dan suci, maka hendaknya berbuat suci kepada orang lain. Dengan kata lain, takwa harus melahirkan amal saleh atau budi pekerti luhur. Bukankah tatkala seorang Sahabat bertanya kepada Nabi, ‘Ajaran Islam apa yang paling baik?’ Nabi menjawab, ‘Kamu memberi makan orang yang memerlukan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan orang yang tidak kamu kenal.’ (HR. an-Nasa’i)
Cak Nur memaknai esensi ketersalingmemafkan, kebersalaman, kebersamaan dan kebahagiaan itu adalah wujud surga. Karena tak ada yang tahu bagaimana surga itu. Kelapangan hati ini terjadi sebab adanya rahmat Allah kepada hamba-hambanya. Allah berfirman:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. (QS. Hud [11]: 118-9).
Lalu, Gus Dur berkesimpulan bahwa surga itu dipenuhi oleh pendosa-pendosa yang bertaubat dan mau minta maaf. Sedangkan, neraka itu dipenuhi oleh orang-orang alim yang munafik dan besar kepala.
Karena itu Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) di Tanah Papua, sebagai salah satu yayasan pelopor pendidikan di Tanah Papua, bermaksud melaksanakan kegiatan Halal Bi Halal yang Insya Allah akan dilaksanakan pada Ahad, 21 April 2024/12 Syawal 1445 H. Bertempat di Aula H. Daud Syamsuddin Ponto, Universitas YAPIS Papua (UNIYAP), jl. Dr. Sam Ratulangi, Dok V Atas, kegiatan ini akan menghadirkan seluruh pengurus YAPIS Pusat, Pengurus dan Pegawai YAPIS Cabang serta unsur lainnya. H. Burhanuddin, S.Pd.I., S.H.I., M.H., akan memberikan siraman rohani bertajuk “menebar kebaikan, Membangun Ummat dalam Semangat Silaturahmi”.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami mengundang seluruh Keluarga Besar YAPIS di Tanah Papua, serta seluruh Umat Islam pada pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga upaya kecil ini, dapat menjadi penyebab kita semua benar-benar kembali ke “fitri”.
Wallahu A’lam bisshawab
Disarikan dari: https://alif.id/read/mbi/hikmah-idul-fitri-menurut-gus-dur-dan-cak-nur-b229651p/